Saturday, July 12, 2008

Karcis Suplisi di Kereta Ekonomi???

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, aku segera bergegas meninggalkan kampus bundar semata-mata untuk mengejar kedatangan kereta ekonomi terakhir. Tatkala aku masih menjelajahi Balhut, bel di stasiun UI berbunyi diiringi oleh suara petugas stasiun yang memberitahukan bahwa kereta ekonomi terakhir tujuan Manggarai segera tiba. Aku menoleh ke arah selatan, telah terpancar sebuah cahaya yang berasal dari lampu sorot kereta sedang bergerak menuju stasiun UI. Segera aku berpacu kaki dengan kereta ekonomi tersebut.

Tebak, siapakah yang menang? Sudah jelas sekali kendaraan beroda besi tersebut mengalahkanku. Namun, beruntunglah aku masih bisa menapakkan kakiku di dalam kereta tersebut, bahkan dapat menyandarkan diriku di atas pangkuan kursi kereta.

Tak lama kemudian, datanglah seorang pria tua yang mengenakan seragam kemeja biru muda dan celana panjang biru tua. Dia berjalan menghampiri setiap penumpang yang berada dalam gerbong kereta ini. Penumpang yang jujur (termasuk aku) pasti akan menunjukkan karcisnya kepada orang tersebut. Lalu, tibalah ia kepada seorang Ibu tua yang duduk tepat di sebelah kananku.

"Kricek...kricek...," sebuah tanda bahwa petugas karcis tersebut ingin memeriksa karcis penumpang yang sedang dihampirinya dengan memainkan alat pelubang karcis yang selalu dibawanya.

"Maaf, Pak. Tadi stasiunnya udah tutup... Jadi, gak bisa beli karcis...," terang Ibu tua tersebut dengan polosnya.

"Ya udah, Bu. Ibu harus bayar karcis suplisi," balas petugas tersebut sambil merogoh saku celananya.

Dikeluarkanlah dua gepok karcis suplisi yang sudah terlihat lusuh. Dari salah satu gepokan tersebut diambillah selembar karcis suplisi. Karcis suplisi ini ternyata lebih besar ukurannya daripada karcis biasa, malah hampir seukuran uang kertas. Karcis tersebut kemudian diserahkan kepada Ibu tua tadi, lalu Ibu itu membayarkan uang sejumlah harga karcis suplisi tersebut — lima ribu rupiah — setelah sebelumnya bertanya kepada petugas tadi berapa harga karcis suplisi.

Aku memerhatikan kejadian ini terus menerus, dengan harapan tidak ada momen satu detik pun yang terlewatkan. Sebab ini adalah sebuah kejadian yang sangat langka dan aku pun baru pertama kali menyaksikannya. Tidak ada rasa dongkol yang tersirat dalam muka Ibu tua tersebut, sedangkan petugas tersebut hanyalah tersenyum sambil menuliskan sebuah catatan karcis suplisi yang digunakan tadi.

Berlalulah petugas karcis tersebut ke orang lain. Aku terus memerhatikan petugas tersebut. Orang-orang yang dihampirinya ternyata tidak sejujur Ibu tua yang berada di sebelahku ini. Ada yang pura-pura tidur sehingga membuat petugas malas untuk membangunkannya. Ada yang ketika dihampiri hanya memberikan senyuman kepada petugas (Wow, hebat... Senyumannya itu bisa seharga karcis kereta ekonomi...). Ada pula yang merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan selembar uang seribu rupiah kepada petugas tersebut. Tapi anehnya lagi, petugas tersebut menerima semua perlakuan orang-orang tersebut... Dimanakah keberanian dan kejujuran petugas tersebut yang ia berikan kepada Ibu tua yang berada di sebelahku??? Dalam hatiku menjawab, mungkin petugas tersebut hanyalah dapat berani dan jujur pada orang-orang yang jujur.

3 comments:

Anonymous said...

bagaimanapun juga, kejujuran itu terkadang memang menyakitkan. Tapi mudah2an perilaku si ibu itu bisa kita ikuti oleh kita semua bahwa apapun situasinya, kita harus Jujur - Radja...lol

Anonymous said...

setuju

Anonymous said...

UpDate dong!!!