Wednesday, January 9, 2008

[Part II]Matinya Hercules dan Xena

Kisah Sebelumnya...

”Sedari tadi kami sudah mendengar pembicaraan dewa-dewi yang mulia. Dan kami sudah tahu tugas kami. Kami sangat memahaminya. Tak perlu ragu. Kami siap menyelesaikannya,” tegas Hercules, tegar. Xena pun mengangguk pasti.

Mendengar semangat juang Hercules dan Xena, seketika dewa-dewi terpana lega. Wajah kembali diangkat. Sekujur tubuh mereka bermandikan cahaya yang luar biasa. Lalu, mereka berlompatan sambil bersorak: ssssuuuuuiiiiiitttjjjjbbbblllluuuungggg…

”Masalah hidup mati kami tak perlu diperdebatkan. Apalagi seluruh makhluk tahu, kita tak mungkin mati,” ucap Hercules.

Mendengar itu, cahaya yang memenuhi dewa-dewi semakin berpendaran, dan sorak semakin riuh: sssuuuiiiirrrrjjjjbbbblllluuunnggggeeeeennggg….

”Masih berjubel masalah lain yang lebih pelik yang patut diperdebatkan. Misalnya, masalah anak-anak terlantar, pengangguran, dan sekolah-sekolah yang ambruk. Itu perlu dicarikan solusi. Terlebih lagi, masalah politikus yang banyak omong, patut dibasmi,” lanjut Xena seraya mengedarkan pandangan ke seluruh dewa-dewi, ”Mulai banyak di antara dewa-dewi yang nganggur tetapi terus foya-foya. Segala cara dihalalkan asal dapat memperoleh kenikmatan. Juga semakin banyak dewa-dewi yang kerjanya cuma jual janji, tetapi tak satu pun terbukti. Kerjanya cuma menipu ke sana-ke mari.”

Bagi dewa-dewi yang masih berjiwa, segera menunduk, malu. Sementara dewa-dewi yang tak berjiwa atau kehabisan jiwa, tetap cuek – bahkan ada yang mangut-mangut, seolah paling suci.

”Betul. Persoalan-persoalan seperti itu patut segera diselesaikan,” tandas Hercules.

Di antara dewa-dewi, ada yang tersedu-sedu menepuki kepala:

nngguuiiiinngggxxxxiiiinnnggsssrrreeeeelllkkkfff…

”Satu hal yang kami pelajari, mati dalam tugas adalah suatu kehormatan,” tambah Xena, ”dari pada mati kecebur di comberan, diseruduk sapi, atau keserempet truk.”

Tiba-tiba dewa-dewi terperangah senang dan bersorak bangga: tttrrrruuuuuiiiiinggggg…

”Jadi, sungguh, kalian siap menjalankan misi mahapenting ini?” tanya dewa berpakaian cahaya keemasan.

Hercules dan Xena mengangguk.

”Sudah siap menghadapi segala risiko yang mengancam di lapangan?”

Hercules dan Xena kembali mengangguk.

”Meski keberadaan kalian menjadi taruhan?”

”Tugaskan saja kami. Apa pun risikonya siap kami hadapi. Dan kami akan bertanggung jawab terhadap segala perbuatan kami,” tegas Hercules dan Xena berbarengan. ”Tak perlu cari kambing hitam.”

Dewa-dewi bertepuk tangan, bersorak sukacita tiada terkira: tttrrruuuuiiinnngggrreeeeeennnngggg….

Maka, dengan membawa segala ilmu dan persenjataan, Hercules dan Xena berangkat, turun ke bumi – menumpas kejahatan yang merajalela di sebuah negeri.


***

Negeri tanpa peta, dalam hitungan burung hantu.

Hercules dan Xena terperangah. Mulut mereka sampai menganga sedalam goa. Benar-benar tak percaya atas segala peristiwa yang terjadi di negeri yang kini di depan mata.

Begitu Hercules dan Xena menjejakkan kaki, tepatnya di tanah air negeri yang ditakutkan dewa-dewi itu, langsung disambut huru-hara mengerikan. Orang-orang saling serang, saling bunuh. Wanita-wanita diperkosa beramai-ramai. Darah berceceran di jalan-jalan dan pekarangan rumah – dijadikan hiasan. Korban bergelimpangan – persis sampah. Pistol, pisau, pedang dan kelewang dijadikan mainan. Sementara pejabat dan konglomerat asyik berjudi sambil minum arak dan makan sate hati siapa saja.

”Ya, ampun!” pekik Xena terbelalak selebar-lebarnya. Bolamatanya hampir meloncat. ”Gimana mungkin kita mampu melawan keganasan turun-temurun ini? Lebih buas dari seribu singa!”

Hercules mengempas napas, tak berdaya. ”Kebuasan mereka bahkan sudah berurat berakar. Otak mereka sudah dijejali cacing, ulat dan lintah. Hati mereka sudah menjadi sarang ular-ular berbisa. Tubuh mereka sudah menjadi hunian iblis dan hantu. Saya yakin, mereka jauh lebih kejam dari Medusa,” resah Hercules.

”Sudah kita habisi ratusan penyihir jahat yang memiliki kesaktian luar biasa, tetapi, ah, rasanya kita tak sanggup mengalahkan mereka,” sahut Xena.

”Lihat, cenderawasih mereka kelupas lalu dipanggang, rencong mereka patah-patahkan, hijau hutan mereka cabik-cabik, selendang biru danau mereka koyak-moyak, nyanyian sungai mereka nodai hingga berlendir hitam. Ah, tak terhitung keganasan mereka…”

”Melihat besarnya kekuatan jahat mereka, saya tak tahu bertindak apa,” ucap Hercules. ”Baru pertama kali seumur hidup saya menyaksikan kejahatan selaknat ini.”

”Malah, aku yakin, kuasa kejahatan mereka lebih besar dari seratus iblis laknat sekali pun. Kekuatan kita tak ada artinya,” lirih pedih Xena.

”Ya, kita tak akan mampu mengubah mereka, meski dengan segala ilmu, kuasa dan persenjataan yang kita punya,” tanggap Hercules. ”Jangan-jangan, kekuatan seluruh dewa-dewi pun tak akan sanggup mengalahkan mereka.”

Pelahan, lemas segala persendian Hercules dan Xena. Di saat itulah ribuan lembing hinaan dilontarkan ke arah mereka.

”Hei, lihat, artis menyambangi kita! Emangnya suting film atau sinetron, berjudul ‘ketololan tiada akhir’! Atau, mereka sedang melakonkan adegan pejabat pura-pura turun ke desa!”

”Ah. Paling juga orang gila! Orang sok jagoan yang punya ilmu kebal dan bisa terbang. Puih, kayak film Indonesia!”

Lalu, mereka tertawa dan berjumpalitan – lebih seram dari drakula. Lalu, mereka melucuti pakaian, telanjang menari-nari, sesukanya.

Hercules dan Xena terkejut luar biasa. Tetapi, tiba-tiba tawa itu berubah penyerbuan senjata tajam dan caci maki. ”Bangsat! Jahanam! Kurang ajar! Bajingan tengik! Anak jadah! Setan!”

Hercules dan Xena lebih tercekam. Lalu, caci maki itu memuncak menjadi tuduhan keji disertai lemparan kotoran ke muka Hercules dan Xena. ”Mereka pengkhianat! Perampok! Penipu! Perusak moral! Pemerkosa! Pembunuh! Aktor intelektual! Penyulut pertikaian!!!”

Hercules dan Xena ketakutan, menggigil gemetaran, melihat mereka berubah menjadi ular-ular raksasa buas berkepala tujuh bertanduk seribu. Ribuan pasang mata nyalang merah tuba siap memangsa. Dan air liur merembes jingga di debu tanah.

Tiba-tiba terdengar teriakan, ”Buuunnnnuuuuuhhhhhh…!!!”

Sebelum Hercules dan Xena tersadar atas bahaya yang di depan mata, ular-ular raksasa buas berkepala tujuh bertanduk seribu itu berlomba menerkam:

”Nngggggrrrrrrrrreeeeekkkkkkkqqqjjjjhhhhh…..!!!”

Bersusah payah Hercules dan Xena melawan. Segala ilmu, kuasa dan persenjataan mereka keluarkan, tetapi tak mampu menghalau serangan ular-ular raksasa kelaparan itu. Serangan menderas tuba. Hercules dan Xena kewalahan. Serangan bukan berkurang, malah semakin banyak; mati satu tumbuh seribu — bermunculan dari tingkap-tingkap kegelapan dengan mata berkilatan dan taring haus darah. Hercules dan Xena sudah kehabisan ilmu dan kehebatan, hingga terdesak kelelahan dengan tubuh tercabik-cabik.

Akhirnya, diiringi jerit ketidakberdayaan dan petir yang menggelegar, Xena roboh bermandi darah, disusul Hercules. Ular-ular raksasa edan itu segera mengerubungi, menjilati darah, dan menyeret tubuh Hercules dan Xena ke dalam kegelapan tak bertepi…(bersambung)

Bagaimanakah reaksi Negeri Awan mendengar kekalahan Hercules dan Xena ini?


NO COMMENTS YET: